DPRD Kaltim Nilai Status Aset Tak Jelas, Perbaikan Fender Jembatan Mahakam Berisiko Picu Bencana

Wawancara Hasanuddin Mas’ud Ketua DPRD Kaltim
Wawancara Hasanuddin Mas’ud Ketua DPRD Kaltim

KNWES.id, SAMARINDA — Ketua DPRD Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas’ud, kembali menyampaikan kekhawatirannya terkait kondisi Jembatan Mahakam yang dinilai semakin memprihatinkan.

Ia menyoroti lambannya perbaikan fender serta tumpang tindih kewenangan antarinstansi yang berpotensi menimbulkan masalah serius, bahkan mengarah pada ancaman bencana berskala nasional.

Dalam rapat dengar pendapat yang digelar Rabu (26/11/2025), Hasanuddin menekankan bahwa persoalan mendasar terletak pada ketidakjelasan status kepemilikan fender atau dolphin di jembatan tersebut. Kondisi ini, menurutnya, membuat proses perbaikan dan penentuan tanggung jawab menjadi tidak jelas.

“Eh, pertama saya memempertanyakan soal kewenangan. Apakah Fender itu menjadi aset BBPJN? Nah, karena begini itu jembatan dibangun tahun 1980 zaman soeharto dan diresmikan itu tahun 1981. Nanti kita lihat itu datanya. Artinya sampai sekarang saya belum pernah melihat SK lampiran bahwa fender maupun ataupun Dolphin ini bagian daripada aset. SK-nya belum ada,” ujarnya.

Ia bahkan mendorong Komisi II atau Komisi III DPRD Kaltim untuk melakukan pengecekan langsung ke Kementerian PUPR guna memastikan dasar hukum aset tersebut. Tanpa kejelasan, daerah disebut berada dalam posisi sulit karena diminta bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan kewenangannya.

Hasanuddin menjelaskan, kerusakan fender dan dolphin menyebabkan tiang utama Jembatan Mahakam tidak lagi memiliki pelindung.

Padatnya aktivitas lalu lintas sungai, khususnya kapal tongkang yang melintas tanpa pemanduan di malam hari, meningkatkan risiko tabrakan langsung ke struktur utama jembatan.

“Jadi kalau terjadi lagi accident-accident, kita sangat khawatir kapal ponton ataupun kapal tongkang. Itu langsung menabrak tiang utama. Nah, kalau tiang utama itu miring, ah, ini menjadi bencana nasional,” tegasnya.

Padahal, pemerintah daerah telah mengeluarkan surat penghentian sementara aktivitas lalu lintas sungai sampai fender terpasang kembali. Namun di lapangan, aktivitas tetap berlangsung tanpa adanya upaya mitigasi yang memadai.

Hasanuddin juga menyoroti lamanya waktu penanganan kerusakan. Fender diketahui rusak sejak 16 Februari, namun pengerjaan baru dimulai pada Oktober dan dilakukan tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah.

“Februari, Maret, April… 10 bulan. Belum ada, padahal janjinya kemarin 6 bulan,” katanya.

Selain itu, ia mempertanyakan nilai proyek perbaikan yang mencapai Rp27 miliar. Menurutnya, anggaran tersebut terbilang kecil untuk pekerjaan fondasi hingga kedalaman 40 meter dengan dua unit fender, apalagi realisasinya hanya membangun satu unit.

“27 miliar enggak terlalu murah?… Kalau satu ada ponton lewat, bisa ngeles gini kan, kalau dua kan masih berkemungkinan tertahan,” kritiknya.

Saat disinggung soal sanksi atas keterlambatan pekerjaan, Hasanuddin menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan tindakan apa pun.

“Ah, kita enggak ada karena kewenangan dia katanya. Tapi pender dan dolphin setahu saya kita yang bangun. Nanti komisi 2, komisi 3 berangkat aja ke sana minta SK-nya supaya tahu dasarnya apa,” ucapnya.

Hal serupa juga berlaku terkait kemungkinan pelaporan terhadap perusahaan kapal yang menabrak fender. Menurut Hasanuddin, keterbatasan kewenangan membuat daerah tidak bisa mengambil langkah hukum.

“Enggak bisa, karena asetnya diakui aset mereka. Kalau aset kita ya bisa kita laporin… Kalau ada apa-apa masyarakat nanti nyerang kita loh,” tegasnya.

Sebagai penutup, Hasanuddin mengingatkan kembali tragedi runtuhnya Jembatan Tenggarong 14 tahun silam. Ia menilai, tanpa kejelasan kewenangan dan percepatan penanganan, risiko kejadian serupa dapat kembali terulang tanpa ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab.

(Adv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *