DPRD Kaltim Tekankan Legalitas dan Koordinasi dalam Penyaluran Tenaga Kerja di Kaltim

Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan
Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan

KNWES.id, SAMARINDA – Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan, menyoroti maraknya praktik penyaluran tenaga kerja di Kaltim dan menegaskan bahwa setiap kegiatan rekrutmen harus memiliki dasar hukum yang jelas serta koordinasi yang baik antarinstansi terkait.

Menurutnya, keberadaan lembaga penyalur tenaga kerja atau labor supply memang tidak dilarang. Namun, ia menekankan bahwa yang harus diutamakan adalah lembaga resmi yang bermitra dengan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) maupun perusahaan penerima pekerja.

Ia mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Ketenagakerjaan yang memperbolehkan Balai Latihan Kerja (BLK) diselenggarakan oleh pemerintah, perusahaan, hingga pihak swasta. Namun, semua lembaga tersebut wajib memenuhi ketentuan formal yang telah ditetapkan.

“Syarat utamanya, mereka harus memenuhi unsur legal standing atau landasan hukum yang jelas,” tegasnya, Senin (24/11/2025).

Agusriansyah menambahkan bahwa kerja sama antara penyedia tenaga kerja, perusahaan, serta Disnaker harus dituangkan dalam dokumen resmi yang valid dan tercatat dengan baik. Hal ini untuk memastikan bahwa seluruh proses berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.

“Pada prinsipnya, hal itu tidak menjadi persoalan. Yang terpenting adalah rumusan kerja sama atau Nota Kesepahaman (MoU)-nya harus sesuai aturan dan tercatat dengan baik, serta terkoordinasi antara Disnaker, perusahaan, dan penyedia tenaga kerja,” lanjutnya.

Politikus tersebut juga menegaskan bahwa lembaga penyalur tenaga kerja idealnya memiliki BLK sendiri untuk membekali calon pekerja sebelum ditempatkan di perusahaan. Tanpa pelatihan, ia menilai fungsi lembaga tersebut hanya menjadi perantara, yang justru bisa menimbulkan persoalan.

“Jadi, fungsinya bukan sekadar menyalurkan atau menerima pendaftaran lalu langsung mengirim. Jika hanya sebagai perantara tanpa pelatihan, hal itu bisa menimbulkan masalah dan berpotensi tumpang tindih dengan program yang dijalankan pemerintah desa,” jelasnya.

Ia juga mendorong perusahaan agar proaktif membangun komunikasi mengenai kebutuhan tenaga kerja yang ingin dipenuhi. Perusahaan disebut harus memastikan apakah kebutuhan tersebut akan dipenuhi melalui BLK pemerintah atau lembaga swasta yang telah memenuhi syarat.

“Komunikasi tentang kebutuhan perusahaan harus jelas, apakah akan dipenuhi oleh Disnaker melalui BLK milik pemerintah, atau oleh penyedia tenaga kerja swasta yang memiliki BLK sendiri. Inilah poin yang harus diperjelas untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan memastikan kualitas tenaga kerja,” pungkasnya. (Adv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *