KNWES.id, SAMARINDA – Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Baharuddin Demmu, menyoroti sejumlah tantangan dalam proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi yang saat ini tengah digodok.
Ia menyebut, tantangan terbesar muncul dari penyesuaian wilayah terkait Ibu Kota Negara (IKN) serta arah pembangunan yang diusung melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Persiapan revisi ini memang untuk menyesuaikan IKN dan visi-misi kepala daerah, tapi sampai saat ini dokumen resmi belum masuk ke Baperda,” kata Baharuddin saat ditemui wartawan, Sabtu (22/11/2025).
Baharuddin menegaskan bahwa DPRD hanya menyiapkan persyaratan awal, dan rancangan baru akan diteruskan ke pimpinan DPR jika memenuhi kriteria yang ditentukan.
Ia menjelaskan permasalahan paling pelik adalah alokasi ruang untuk kepentingan publik. Sebagian besar wilayah Kaltim saat ini telah digunakan untuk kegiatan industri, sehingga menyulitkan penentuan area untuk perikanan, pertanian, dan sektor publik lainnya.
“Yang paling repot itu menempatkan ruang-ruang untuk rakyat. Jangan sampai kita tetapkan untuk pertanian, tapi sudah ada tambangnya di situ. Semua existing harus dilihat dulu,” ujarnya.
Isu lingkungan juga menjadi sorotan. Baharuddin menyinggung kasus kematian ikan di perairan Bontang yang diduga akibat aktivitas perusahaan sawit dan CPO. Ia menekankan hak nelayan tetap harus dijaga, termasuk perhitungan kerugian yang adil.
“Walaupun itu wilayah industri, nelayan tetap boleh mencari ikan di situ. Kalau ada kerugian, harus dihitung. Ini penting agar hak rakyat tetap terlindungi,” tegasnya.
Baharuddin juga mengkritik sanksi yang dianggap lemah terhadap pelanggaran lingkungan. Ia mencontohkan sebuah perusahaan yang hanya membayar denda PNB Rp180 juta akibat pencemaran, jumlah yang dianggap terlalu kecil dibandingkan skala bisnis.
“Kalau cuma bayar Rp180 juta, itu detik-detik kembali modal. Kita ingin sanksi administratif bisa bersinergi dengan pidana kalau undang-undang memungkinkan. Harus ada efek jera,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa revisi RTRW harus mampu menyeimbangkan kepentingan pembangunan, industri, dan perlindungan lingkungan. Penentuan ruang strategis, hak nelayan, serta penerapan sanksi efektif menjadi kunci agar RTRW tidak sekadar dokumen formal, tetapi berdampak nyata bagi masyarakat dan ekosistem Kaltim. “Kita harus pastikan peraturan ini melindungi rakyat dan lingkungan. Jangan sampai kebijakan hanya jadi formalitas, tapi dampaknya nihil di lapangan,” pungkas Baharuddin.
(Adv)













