SAMARINDA – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) berencana memanggil manajemen PT Putra Bongan Jaya (PBJ), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat (Kubar).
Tindakan ini diambil sebagai respons atas keluhan masyarakat terkait keberlanjutan pengembangbiakan kerbau rawa yang terancam akibat aktivitas perusahaan sawit PT Putra Bongan Jaya.
Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, mengungkapkan bahwa rencana pemanggilan ini bermula dari aduan masyarakat yang melaporkan bahwa sebagian wilayah Kecamatan Jempang, yang seharusnya diperuntukkan bagi pengembangbiakan kerbau rawa, telah digunakan untuk penanaman kelapa sawit oleh PT Putra Bongan Jaya.
“Ternak kerbau rawa di sana (kecamatan Jempang) itu sekarang posisinya terancam. Karena sebagian wilayah mereka sudah dijadikan kebun sawit,” ungkap Baharuddin Demmu, Selasa (24/10/2023).
Baharuddin Demmu menekankan bahwa seharusnya pihak perusahaan dapat memisahkan wilayah yang dilindungi dari kebun sawit sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
“Sebenarnya sudah ada surat dari bupati Kubar untuk menjaga wilayah ternak kerbau rawa di wilayah itu, luasnya sekitar 2.400 hektar. Tapi yang jadi masalah, perusahaan itu tidak mengindahkan peraturan itu dan melanggar,” ungkap Baharuddin Demmu.
Meskipun wilayah tersebut telah dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Putra Bongan Jaya, perusahaan seharusnya mematuhi peraturan bupati yang telah mengatur penyediaan lahan untuk kawasan peternakan kerbau dalam Peraturan Bupati Kubar nomor: 524/1749/Disbuntanakan-Tu.P/XI/2016.
Komisi I berencana untuk memanggil pihak terkait, termasuk manajemen PT Putra Bongan Jaya dan Dinas Perkebunan Kubar, untuk mengklarifikasi masalah ini dan mencari solusi yang tepat.
“Seharusnya pemegang izin (PT Putra Bongan Jaya) menciutkan wilayah mana yang harus dilindungi, bukan malah dijadikan kebun sawit semuanya,” tegasnya.
Politikus PAN ini mendorong bupati Kubar untuk mengirimkan kembali surat tersebut kepada pihak perusahaan, sehingga bisa dibaca ulang serta tidak terus-terusan menggarap lokasi yang dilindungi.
“Menurut saya seharusnya kalau itu wilayah dilindungi, pemerintah tidak perlu keluarkan izin lokasi perusahaan itu. Atau jangan-jangan semua OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait tidak sinkron dalam proses perizinan itu,” tandasnya.
Dengan pemanggilan ini, diharapkan dapat ditemukan jalan keluar yang memadai untuk menjaga keberlanjutan pengembangbiakan kerbau rawa dan menghormati peraturan yang ada.