KNWES.id, SAMARINDA – Persoalan penggunaan jalan nasional oleh angkutan tambang kembali memicu polemik di Kalimantan Timur. Aktivitas truk batu bara yang melintasi jalur umum dinilai semakin masif dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Keluhan warga muncul di berbagai titik karena arus lalu lintas terganggu oleh konvoi kendaraan bermuatan berat. Mobilitas harian masyarakat, mulai dari bekerja hingga aktivitas ekonomi kecil, kerap terhambat akibat padatnya truk tambang yang melintas tanpa jeda.
Di sejumlah ruas jalan, kondisi tidak hanya sebatas macet. Pengguna jalan sering kali terpaksa berhenti total untuk memberi jalan bagi iring-iringan truk, terutama pada jam sibuk. Antrean kendaraan pun memanjang hingga ratusan meter.
Situasi ini dinilai telah mengganggu kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan. Banyak warga merasa hak mereka atas fasilitas publik terabaikan, sementara aktivitas industri justru semakin leluasa memanfaatkan jalur nasional.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Jahidin, menegaskan bahwa persoalan tersebut bukan sekadar soal teknis lalu lintas, melainkan mencerminkan ketimpangan dalam pengelolaan ruang publik.
“Jalan nasional dibangun dari uang rakyat, tapi justru rakyat yang harus menunggu setiap kali truk tambang lewat. Ini bukan sekadar aturan yang lemah, ini masalah struktural yang memperlihatkan betapa akses publik bisa disingkirkan oleh kepentingan industri,” ujarnya, Minggu (7/12/2025).
Isu ini semakin mengemuka setelah beredar informasi bahwa PT Kaltim Prima Coal (KPC) kembali menggunakan jalan nasional dengan dasar rekomendasi administratif yang dianggap belum memiliki kekuatan hukum memadai. Kondisi tersebut memunculkan persepsi bahwa pengawasan terhadap penggunaan jalan nasional masih longgar.
Jahidin mengingatkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan banyak komitmen perusahaan yang tidak berjalan sesuai janji. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya dasar hukum yang jelas dan tegas.
“Kita terlalu sering dibohongi dengan janji perbaikan atau kompensasi yang tidak pernah diwujudkan. Ruang publik tidak bisa diatur hanya lewat komitmen informal semacam itu,” katanya.
Menurutnya, kebiasaan warga yang harus menunggu saat truk tambang melintas justru menandakan melemahnya posisi masyarakat dalam pengelolaan ruang publik.
“Ketika truk tambang melintas, akses warga langsung terputus. Ini sangat memprihatinkan. Jalan umum seolah berubah menjadi jalur industri,” tegasnya.
Padahal, pemerintah telah memiliki regulasi yang membatasi penggunaan jalan nasional untuk kepentingan di luar fungsi umum. Jahidin mendorong agar aturan tersebut ditegakkan secara konsisten demi melindungi hak masyarakat atas fasilitas publik. (Adv)













