KNEWS.id, SAMARINDA — Penolakan terhadap rencana perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IV Regional 5 kembali menguat, kali ini datang dari empat desa di Kabupaten Paser: Desa Lombok, Pait, Sawit Jaya, dan Pasir Mayang.
Bagi masyarakat setempat, isu perpanjangan HGU bukan sekadar persoalan administrasi pertanahan.
Mereka menilai permohonan tersebut berkaitan langsung dengan rangkaian ketidakadilan yang sudah berlangsung lebih dari empat dekade, sejak pengambilalihan lahan pada 1982 yang kala itu dilakukan dengan pengawalan aparat bersenjata untuk PTPN VI, perusahaan yang kini menjadi PTPN IV Regional 5.
Konflik panjang itu meninggalkan trauma yang belum pulih. Warga masih merasakan kehilangan ruang hidup, hilangnya tanah warisan, hingga terganggunya akses ekonomi keluarga mereka.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPRD Kaltim baru-baru ini, warga menyampaikan lima tuntutan pokok. Seluruhnya bermuara pada satu sikap: menolak perpanjangan HGU dan meminta pengembalian wilayah adat.
Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, memastikan pihaknya menerima aspirasi tersebut dan siap membawa persoalan ini hingga ke tingkat kementerian.
“Kami ingin solusi yang win-win. Jangan ada yang dirugikan. PTPN tetap bisa beroperasi, tapi masyarakat juga harus merasakan manfaat dari kehadiran perusahaan,” ujarnya, Jumat (21/11/2025).
Ia mengungkapkan bahwa PTPN IV Regional 5 saat ini mempekerjakan 558 karyawan, sebagian besar berasal dari desa sekitar. Namun, jumlah tersebut tidak otomatis menghapus ketimpangan yang dirasakan warga.
“Yang kami lihat selama ini, komunikasi antara perusahaan dan masyarakat terlalu lama macet. Akibatnya, penolakan terhadap perpanjangan HGU ini semakin kuat,” katanya.
Komisi I DPRD Kaltim berencana menjadwalkan konsultasi dengan sejumlah kementerian, mulai dari ATR/BPN, Kementerian Keuangan, hingga Kementerian BUMN, pada pertengahan Desember 2025—menyesuaikan agenda Badan Musyawarah (Banmus).
Menurut Salehuddin, penyelesaian masalah ini tidak boleh berhenti pada sekadar komitmen tertulis atau hasil rapat.
“Kami ingin penyelesaian yang konkret, bukan janji. Karena konflik seperti ini sudah berlangsung sejak 1982. Investasi harus memberi manfaat, bukan justru menimbulkan penderitaan,” pungkasnya.
(Adv)













